Jumat, 17 Oktober 2014

DEMOKRATIS ATAU TIDAK DEMOKRATIS

DEMOKRATIS ATAU TIDAK DEMOKRATIS

Berikut adalah Opini singkat saya yang saya tulis dulu ketika merespon hangatnya wacana pemilihan gubernur/Bupati/walikota melalui DPRD, dalam RUU Pilkada yang akan segera di paripurnakan. Seperti yang sudah kawan-kawan ketahui bahwa dalam sidang paripurna Anggota dewan 2009-2014 terakhir tersebut diputuskanlah revisi RUU Pilkada tersebut. Ditetapkannya Pilkada melalui DPRD dihasilkan melalui peristiwa kontroversial walk outnya fraksi Partai Demokrat dari Arena Persidangan, sehingga menyebabkan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) Kalah suara dalam voting melawan KMP (Koalisi Merah Putih). Kekalahan tersebut merupakan awal dari runtutan kekalahan KIH di parlemen dalam melawan KMP. Selamat membaca..



DEMOKRATIS ATAU TIDAK DEMOKRATIS
Faizal Akbar, mahasiswa Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM


            Salah satu peninggalan dari reformasi adalah pilkada langsung. Secara historis.  bangsa Indonesia telah melewati fase yang panjang pemilihan kepala daerah oleh DPRD.  Namun jum’at dini hari (26/9) keputusan sidang parlemen mengesahkan RUU Pilkada menjadi dipilih kembali oleh DPRD setelah selama 10 tahun bangsa Indonesia menikmati pemilu langsung oleh rakyat.

            Sebenarnya baik pemilihan kepala daerah lewat DPRD maupun langsung oleh rakyat sama-sama memenuhi asas demokratis. Namun sebagai anak pemerintahan, penulis mempunyai paradigma sistem yang seharusnya menjadi acuan bagi pembuat kebijakan di negeri ini. Paradigma yang berkaitan dengan sistem pemerintahan dan bagaimana aparatur pemerintahan konsisten dalam menjalankan sistem tersebut sesuai dengan mekanisme dan aturan yang berlaku.

            Pasca reformasi Indonesia berkomitmen untuk memperkuat sistem presidensialisme yang ditandai dengan kepala negara dan kepala pemerintahan hanya satu dan dipilih langsung oleh rakyat. Implikasinya, kepala daerah yang juga kepala pemerintahan mendapatkan langsung oleh rakyat, sehingga ia bertanggung jawab langsung kepada rakyat dan bukan kepada parlemen. Kepala daerah juga tidak bergantung terhadap parlemen baik dalam penyusunan kabinetnya maupun garis-garis besar haluan daerah, sekarang disebut RPJM atau RPJP.

            Sistem Presidensialisme memberikan hak konstitusional kepada kepala daerah untuk dapat menjalankan fungsi pemerintahan di daerah tersebut dengan kewenangan yang besar, yang juga diatur dalam undang-undang, ditambah lagi dengan adanya otonomi daerah. Membuat kepala daerah memiliki banyak keleluasaan untuk memajukan daerahnya. Lantas bagaimana dengan hadirnya UU baru yang mengharuskan kepala daerah dipilih oleh DPRD? Marilah kita analogikan sistem yang telah penulis sebutkan diatas sebagai mobil offroad 4 WD dengan transmisi manual. Dengan membayangkan kendaraan tersebut sudah pasti kita akan melihat mobil berbadan besar, bannya besar dan boros BBM.

            Kemudian mari kita bayangkan mobil Toyota prius, mobil yang katanya paling ecofriendly, karena menggunakan BBM dan juga listrik sehingga sangat hemat bahan bakar. Bertransmisi automatis dan sangat nyaman. Selanjutnya kedua mobil tersebut kita sandingkan. Apakah mungkin saudara menggunakan ban besar untuk offroad ke mobil Toyota prius? Mungkin saja, namun apa yang terjadi? Mobil tersebut tidak akan maksimal. Begitu juga jika kita mengganti persneling mobil 4 WD menjadi otomatis. Padahal mobil tersebut didesain manual. Maka yang terjadi adalah mobil 4 WD tersebut tidak bisa jalan.

            Jika analogi tersebut kita asosiasikan dengan perdebatan pilkada langsung oleh rakyat maupun langsung oleh DPRD. Maka ini berkaitan dengan sistem pemerintahan yang digunakan oleh bangsa ini. Sistem pemerintahan kita adalah presidensil, dengan mekanisme dan alat kelengkapan yang sudah diatur oleh undang-undang untuk menunjang sistem presidensil. Maka ketika ujungnya dari sistem tersebut yaitu kepala daerahnya diganti menjadi bercorak parlementer akan menjadi tidak sinkron. Hal tersebut terjadi karena berkaitan dengan mekanisme pertanggung jawaban kepala daerah, mekanisme penyusunan rencana pembangunan daerah, maupun berkaitan dengan sistem pemerintahan di nasional. Banyak hal yang akan memunculkan kerancuan.

Tidak selaras dengan sistem

            Format demokrasi terdiri dari berbagai macam bentuk. Dipillih atau tidak dipilih itu akan sangat berkaitan dengan sistem yang kita anut. Dipilih langsung atau tidak langsung sama-sama demokratis yang menentukan adalah sistemnya. Apa yang terjadi beberapa hari kemarin, merupakan suatu bentuk tindakan serampangan dari elit-elit parpol yang berasal dari Koalisi merah putih yang terlihat cenderung memaksakan kehendaknya. Beruntungnya lagi dengan koalisi yang solid, tindak tanduk serampangan mereka dalam mensahkan RUU Pilkada berhasil. Mungkin menurut mereka sistem bisa disusun belakangan, yang penting kepala pemerintahannya dulu, hal ini tentu saja sangat berkaitan dengan lanjutan kontestasi pilpres 2014.
Mitos-mitos

            Dari fenomena kemarin setidaknya terdapat 3 mitos yang selalu diperdengankan kepada khalayak baik melalui media cetak maupun elektronik. Pertama, mitos bahwa RUU Pilkada ini merupakan tidak berkaitan dengan pilpres. Padahal sesungguhnya kontestasi di parlemen kemarin merupakan kelanjutan dari kontestasi pilpres antara koalisi merah putih dan koalisi Indonesia Hebat.

            Kedua, Perdebatan demokratis dan tidak demokratis. Selama ini Perdebatan pemilukada via DPRD demokratis selalu dikaitkan dengan sila ke-4 Pancasila dan Pemilukada langsung berkaitan dengan UUD dan kedaulatan rakyat dalam filosofi demokrasi. Namun kedua hal tersebut hanyalah permainan retorika, karena pada dasarnya kedua-duanya sama-sama demokratis, yang menentukan adalah seperti apakah sistem yang kita gunakan dalam pemerintahan. Ketiga, Pemilukada tidak langsung subjektif dan langsung objektif. Sekali lagi itu hanyalah mitos, karena  bukan soal objektif atau subjektif yang menjadi inti dari kontestasi ini melainkan berkaitan dengan sistem pemerintahan.

            Begitulah pertunjukan yang telah dipertontonkan kepada kita semua sebagai bangsa Indonesia. Bagaimana pemerintahan bangsa ini disusun secara serampangan oleh oknum-oknum pencari kuasa. Perihal partai politik, baik itu di koalisi merah putih ataupun Indonesia hebat, kedua-duanya pernah memiliki riwayat dalam mengubah bangsa ini seara serampangan. Ya dulu PDIP  lah yang setuju pemilukada tidak langsung. Sehingga apa yang terjadi kemarin merupakan suatu bentuk ganti peran saja, ada yang memerintah ada yang tidak memerintah dan berusaha merebut pemerintahan. Sebagai anak yang sedang menunggu giliran untuk menggantikan mereka harapanku adalah, tolong jangan sisakan kami puing-puing negara ini.

Jumat, 19 September 2014

SEJARAH PRESIDENSIALISME DI INDONESIA

SEJARAH PRESIDENSIALISME DI INDONESIA



Sejarah Pemerintahan Presidensial di Indonesia dimulai sejak diberlakukannya UUD 1945 pada 18 Agustus 1945 sebagai konstitusi negara. Pelembagaan sistem presidensial itu dimulai bersamaan dengan kelahiran republik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. tepatnya sehari setelah proklamasi kemerdekaan RI, disahkanlah UUD 1945 sebagai konstitusi tertinggi negara dalam sidang PPKI. sejak 18 Agustus 1945, sistem presidensial secara resmi dilembagakan melalui konstitusi.

Saat itu sistem presidensialisme belum dapat dikatakan murni. namun beberapa karakteristik dalam sistem presidensialisme telah ditetapkan. Sistem pemerintahan saat itu dapatlah dikatakan sebagai cikal bakal bagi lahirnya pemurnian sistem presidensial.


Prinsip-prinsip presidensialisme tertera dalam beberapa pasal UUD 1945. pertama, kedudukan presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. konstitusi menyatakan bahwa presiden RI mendapatkan kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang dasar. substansi pasal ini menguatkan posisi presiden sebagai kepala pemerintahan. sedangkan penegasan presiden sebagai kepala negara dijelaskan melalui wewenang presiden dalam memberikan amnesti, abolisi, grasi, rehabilitasi; serta wewenang presiden dalam memberikan gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan. fungsi dan wewenang tersebut biasanya dimiliki oleh kepala negara. substansi fungsi, wewenang dan kedudukan tersebut dijelaskan dalam konstitusi.



kedua, penerapan prinsip pembagian kekuasaan. DPR dan lembaga kepresidenan merupakan lembaga yang mandiri. Hal ini merupakan prinsip atau ciri institusionalisasi sistem pemerintahan presidensial. substansi secara tersirat menyatakan bahwa. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, artinya kedudukan presiden tidak bergantung kepada DPR. Ditambah lagi konstitusi menyatakan bahwa presiden tidak dapat membubarkan DPR dan sebaliknya presiden tidak dapat menjatuhkan presiden.


ketiga, presiden memiliki hak preogratif dalam mengangkat dan memberhentikan menteri dalam kabinet. konsekuesinya menteri tidak bertanggung jawab kepada DPR namun kepada presiden.institusionalisasi  hak preogratif presiden dinyatakan dalam konstitusi, bahwa menteri dan diangkat oleh presiden. 

ketiga ciri utama sistem presidensial itu telah dirumuskan dalam UUD 1945 dan sejak disahkannya sebagai konstitusi tertinggi negara.

Namun sistem presidensial menurut UUD 1945 sebelum diamandemen, bukanlah merupakan sistem presidensial yang murni. terutama menyangkut mekanis pemilihan dan pemberhentian presiden. mekanisme pemilihan presiden sebelum amandemen konstitusi 1945, belum dipilih secara langsung dan jabatan presiden belum bersifat tetap (fixed term) karena dapat diberhentikan kapan saja oleh MPR.

Referensi

Yudha, Hanta AR (2010) Presidensialisme setengah hati : dari dilema ke kompromi. Jakarta : Gramedia Pustaka




Rabu, 10 September 2014

DESA : PENGERTIAN DAN KONSEP DASARNYA


DESA : PENGERTIAN DAN KONSEP DASARNYA


            Istilah Desa sudah menjadi istilah lumrah diantara kita.Apalagi istilah tersebut kerap kali dipopulerkan dalam buku-buku pelajaran di sekolah dasar. Stereotype  seperti “pulang ke rumah nenek di desa” ataupun “paman datang dari desa” turut membentuk persepsi kita tentang desa. Tulisan ini akan memaparkan secara konseptual apakah yang dimaksud dengan “Desa” dan bagaimana asal pembentukannya. Tentu saja tulisan ini tidak terlepas dari perspektif penulis sebagai mahasiswa ilmu politik dan pemerintahan. Namun penulis akan tetap memaparkan istilah ini secara komprehensif.

Apakah yang dimaksud dengan desa?

            Setidaknya ada tiga pengertian tentang desa. Pertama, secara sosiologis, yaitu suatu bentuk gambaran kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang tinggal dan menetap dalam suatu lingkungan, dimana diantara mereka saling mengenal dengan baik dan corak kehidupan mereka rrelatif homogeny, serta banyak bergantung kepada kebaikan-kebaikan alam.

            Dalam pengertian sosiologis tersebut , desa diasosiasikan dengan suatu masyarakat yang hidup secara sederhana, pada umumnya hidup dari sector pertanian, memiliki ikatan sosial dan adat atau tradisi yang kuat, sifatnya jujur dan bersahaja , pendidikan yang relative rendah dan lain sebagainya.
Kedua, secara ekonomi. Desa sebagai suatu lingkungan masyarakat yang berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dari apa yang disediakan alam di sekitarnya.

Dari pengertian ini menggambarkan desa sebagai suatu lingkungan ekonomi, dimana penduduknya berusaha untuk memenuhi keburuhan hidupnya. Orientasi pemenuhan kebutuhan hidupnya sendiri dari hasil alam, diistilahkan dengan kata “subsistence” yang artinya, hasil pertanian, perkebunan, sungai dan lain-lain digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat desa tersebut (orientasi kedalam). Batas-batas dalam aktivitas ekonomi ini kemudian diklaim menjadi hak milik desa. Pihak lain tidak boleh menggunakan, mengambil hasil, apalagi mengambil alih segala sesuatu yang dianggap hak milik mereka, tanpa ijin atau persetujuan warga desa.

Ketiga, Pengertian secara politik. Dimana desa merupakan suatu organisasi pemerintahan atau organisasi kekuasaan yang secara politis mempunnyai wewenang tertentu karena merupakan bagian dari pemerintahan negara. Dalam pengertian yang ketiga ini desa ditulis dengan menggunakan huruf awal “D’ besar “Desa”.

            Desa sering dirumuskan sebagai “suatu kesatuan masyarakat hukum yang berkuasa menyelenggarakan pemerintahan sendiri”
Peraturan perundang-undangan RI yang pertama kali secara khusus mengatur mengenai pemerintahan desa secara lengkap adalah UU No. 5 tahun 1979. Dalam UU tersebut pengertian desa adalah:

“ Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat, termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hukum, yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”
Istilah desa merupakan istilah yang berasal dari masyarakat yang ada di Jawa, Bali dan Nusa tenggara Barat. Sedangkan di daerah-daerah lainnya mempunyai sebutan sendiri-sendiri seperti Gampong dan Meunasah (Aceh), Huta dan Huria (Tapanuli), Nagari (sumatera Barat), Marga ( Sumatera Selatan), Benua (Kalimantan), Kampung (Sulawesi), Negeri (Maluku) dan lain-lain.

Mana yang lebih dahulu ada, Desa atau Kota?

            Dalam sejarah peradaban manusia, Desa adalah suatu bentuk organisasi kekuasaan yang pertama kali ada sebelum lahirnya organisasi kekuasaan yang lbeih besar seperti kerajaan, kekaisaran dan negara-negara modern sebagaimana kita kenal dewasa ini.

Alurnya adalah, manusia sebagai makhluk sosial akan selalu hidup berkelompok. Dimulai dari unit yang paling kecil yaitu keluarga batih (terdiri dari suami, isteri dan anak). Ketika keluarga itu bertambah banyak maka sebagian ada yang memisahkan diri dan membuat tempat tinggal sendiri. tempat pemukiman mereka semakin lama semakin besar dan penghuninya pun semakin banyak. Baik dari anak keturunan mereka sendiri yang mempunyai banyak anak dan menikah kemudian bermukim disitu, maupun dari orang lain yang bermukim di tempat tersebut. Lahirlah kemudian kesatuan masyarakat hukum yang mandiri. Pemimpin mereka biasanya adalah yang tertua atau yang mempunyai kemampuan paling tinggi diantara mereka –bisa jadi paling kuat, paling pintar, paling besar tubuhnya dan lain-lain- itulah sebabnya desa-desa lamayang masih asli, selalu terdapat dua unsur yang memenuhinya yaitu ikatan genealogis dan kesatuan wilayah.

            Secara genealogis, penduduk suatu desa pada umumnya mempunya ikatan pertalian darah yang kuat, karena mereka berasal dari keturunan yang sama ataupun jika ada yang berasal dari luar mereka sudah terikat dalam ikatan perkawinan dengan penduduk asli desa itu. Maka cobalah cek silsilah di desa-desa yang nenek kakek saudara tinggali maka seingkali asal usul desa tersebut berawal dari satu atau beberapa keluarga saja.

            Kemudian, kesatuan wilayah. Wilayah desa selalu merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisah-pisah, sehingga tidak ada satu enclave dalam suatu desa yang menjadi bagian desa lain yang berbeda.

            Dalam konteks politik, sebagai kesatuan masyarakat hukum, desa mengurus kehidupan mereka secara mandiri (otonom) dan wewenang untuk mengurus dirinya sendiri itu sudah dimilikinya semenjak kesatuan masyarakat hukum itu terbentuk tanpa diberikan oleh orang atau pihak lain. Dari sinilah mengapa “Desa” disebut memiliki otonomi asli, yang berbeda dengan “daerah otonom” lainnya seperti kabupaten, karesidenan dan provinsi yang memperoleh otonominya dari pemerintah pusat atau pemerintah nasional.

            Desa-desa tersebut berkembang dan semakin lama semakin besar dan kuat , sehingga kemudian lahir keinginan untuk meluaskan daerah desa lainnya. Penguasaan tersebut bisa melalui jalan damai ataupun perang, kemudian desa yang dikalahkan tersebut menjadi bagian dari desanya. Lalu secara bertahap tumbuh organisasi kekuasaan yang lebih besar. Pada mulanya berawal dari desa kecil, kemudian kerajaan kecil dan akhirnya menjadi negara seperti yang kita kenal sekarang.

            Dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya tersebut, kedudukan “Desa”  sebagai kesatuan masyarakat hukum yang otonom  semakin lama semakin menurun statusnya menjadi sub-sistem dari institusi yang lebih besar. Sehingga dalam piramida kekuasaan dewasa ini, desa berada di urutan yang paling bawah atau menjadi bagian dari struktur kekuasaan yang paling rendah.

Jadi Lebih dahulu Desa baru kota, maka banggalah menjadi orang desa J.

Referensi

Maschab, Mashuri (2013). Politik dan Pemerintahan Desa di Indonesia. Yogyakarta: PolGov.  Laboratorium Politik dan Pemerintahan UGM

Sabtu, 30 Agustus 2014

CAPITA SELECTA : SEBUAH CATATAN DARI JALAN PEMIKIRAN MUHAMMAD NATSIR



CAPITA SELECTA : SEBUAH CATATAN DARI JALAN PEMIKIRAN MUHAMMAD NATSIR


Capita Selecta adalah buku yang berisi kumpulan tulisan Muhammad Natsir, dalam kurun periode 1936-1941. Saat itu Beliau mulai menulis dalam majalah Pandji Islam. Karangan-karangan dari Majalah tersebut mencapai sekitar 90 judul. Dikumpulkan dan diterbitkan pertama kali oleh penerbit U.B Ideal sebanyak dua Jilid. Perlu diketahui juga bahwa menulis pada masa-masa kolonial seperti yang dilakukan M. Natsir tidaklah muda, Pers dijaga ketat untuk tidak menggelorakan semangat perlawanan terhadap penjajah. Maka kemudian M. Natsir menggunakan nama samaran A. Muchlis dalam setiap tulisannya.
Walaupun sudah ditulis lebih dari 80 tahun yang lalu -jika dihitung dari hari ini-, namun nilai yang terkandungnya tetap aktual, tidak lekang dimakan zaman. Ide-ide yang tertuang dalam puluhan karangan tersebut, tetap menjadi wawasan penting yang harus kita baca dan pahami. Sebab, selain mempunyai nilai yang tinggi, tulisan ini juga membawa kita membaca sejarah dan semangat zaman pada waktu itu yang dapat kita jadikan pelajaran.
Berbagai tulisan dalam buku ini yang terbagi dalam 2 jilid, didasarkan pada semangat tertentu. Yaitu, “mengemukakan dengan cara huddjah yang tersendiri, langsung atau tidak langsung , akan ketinggian dasar dan ajaran Islam dan bahwa Islam itu adalah suatu aturan hidup untuk segala penciptaan kemanusiaan dan pencinta- Tuhan”. Islam menurut keyakinan M. Natsir, adalah sebagai kriterium bagi hidup seorang muslin dan tak mungkin islam itu dijadikan objek untuk di-kriterium-kan kepada yang lain.
Tulisan dalam buku Capita Selecta  disusun secara berurutan, karena disesuaikan menurut peristiwa dan gelombang masa, pada waktu itu. Sehingga antara satu karangan dan karangan yang lain akan saling berkaitan. Tulisan dalam buku ini disusun dengan kata-kata yang berima, namun tetap bernas. Susunan tersebut memberikan karakter sendiri dari tulisan M. Natsir.  Secara umum isinya berkaitan dengan soal-soal sosial, ekonomi dan politik yang menjadi kebutuhan bangsa kita pada waktu itu. Semuanya dijiwai dengan semangat dan ideologi Islam yang menjadi pegangan hidupnya.
Pada masa tulisan ini dibuat, tahun 1939 adalah masa dimana persiapan dan latihan untuk menghadapi revolusi besar kemerdekaan Indonesia, yang terjadi enam tahun kemudian. Tulisan-tulisannya di Pandji Islam menjadi senjata untuk menghadapi upaya licik penjajah dan para kapitalis asing di dewan rakyat. Menjadi bentuk pencerdasan pula terhadap beberapa pemimpin Indonesia yang tiak mengerti akan ideologi Islam, dia hadapi dengan caranya sendiri yang dituangkannya dalam bentuk tulisan yang berirama dan bersemangat.
Semangat Capita Selecta
            M. Natsir mengemukakan sikap dan pendirian Islam sebagai asas untuk memperjuangkan kemerdekaan. Berangsur-angsur mulai jelas perbedaan pandangan hidup antara nasionalis yang berjuang karena kemerdekaan itu an sich dengan pandangan hidup yang semestinya sebagai seorang muslim.
            Saat itu Ir. Soekarno yang menjadi pelopor gerakan nasional  menyemboyankan “.. berjuanglah mencapai kemerdekaan Indonesia dengan dasar Nasionalisme! Adapun agama adalah pilihan dan tanggung jawab masing-masing diri!.
            M. Natsir kemudian menanggapi semboyan dari Soekarno tersebut dalam Capita Selecta ( Natsir, 1961) bahwa, “islam bukanlah semata-mata suatu agama tapi juga pandangan hidup yang meliputi soal-soal politik, ekonomi , sosial dan kebudayaan. Baginya islam merupakan sumber segala perjuangan atau revolusi itu sendiri, sumber dari penentangan setiap macam penjajahan, eksploitasi manusia, pemberantasan kebodohan, kejahilan, pendewaan dan juga sumber pemberantasan kemelaratan dan kemiskinan. Islam tidak memisahkan antara keagamaan dan kenegaraan. Nasionalisme hanyalah suatu langkah , suatu alay yang sudah semestinya didalam menuju kesatuanbesar, persaudaraan manusia dibawah lindungan dan keridhaan ilahi. Sebab itu islam itu adalah primair”.

Selasa, 26 Agustus 2014

MENGENAL SISTEM PARLEMENTARISME

Mengenal Sistem Parlementerisme

Secara umum sistem pemerintahan terbagi menjadi dua varian, yaitu presidensialisme dan parlementarisme. dalam beberapa kasus tertentu ada juga yang menggabungkan kedua sistem tersebut, yang dinamakan sistem pemerintahan hybrid. tulisan ini akan secara mendasar menjelaskan tentang sistem pemerintahan parlementarisme.

Sejarah bangsa Indonesia menunjukkan bahwa kita pernah menerapkan sistem parlementer pada periode 1950-1959. penerapan sistem tersebut dirasa gagal karena tidak berjalan dengan efektif, dalam rentang waktu 9 tahun tersebut diisi oleh jatuh bangunnya 7 perdana menteri. periode parlementer di Indonesia diakhiri dengan terjadinya dekrit presiden 5 Juli 1959 oleh presiden Soekarno.

Sistem Pemerintahan Parlementer memiliki fokus kekauasaan pada lembaga legislatif. karakteristik utama sistem parlementer ditandai dengan pemisahan jabatan kepala negara dengan kepala pemerintahan.jabatan presiden memiliki status politik sebagai kepala negara. sementara kepala pemerintahan merupakan jabatan lain yang lazimnya disebut dengan perdana menteri. maknanya adalah ada institusi lain di atas kepala pemerintahan, yang bertindak sebagai kepala negara, bisa berupa presiden maupun raja.

sumber legitimasi pemerintahan dan kabinet berasal dari lembaga legislatif atau parlemen. karena itu kabinet yang dipimpin perdana menteri ditentukan oleh parlemen dan sangat bergantung pada parlemen. konsekuensinya secara politik kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat dijatuhkan secara politik oleh parlemen dengan menggunakan mosi tidak percaya.

kekuatan dan komposisi kabinet sistem parlementer mencerminkan kekuatan politik yang berada di dalam parlemen yang mendukungnya. stabilitas pemerintahan sangat bergantung pada dukungan di parlemen. relasi kekuasaan antara kabinet dan perlemen saling bergantung. relasi antar lembaga pun tidak ada kemandirian. sehingga parlemen dapat membubarkan kabinet karena alasan politis, sebaliknya parlemen pun dapat dibubarkan perdana menteri.

Mahfudz MD menulis ada empat ciri utama parlementarisme. pertama, kepala negara tidak berkedudukan sebagai kepala pemerintahan karena lebih bersifat simbol nasional. (pemersatu bangsa). kedua, pemerintahan diselenggarakan oleh kabinet yang dipimpin perdana menteri. ketiga, kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan kabinet dapat dijatuhkan parlemen melalui mosi. keempat, kedudukan eksekutif (kabinet) lebih rendah daripada parlemen, karena itu kabinet bergantung pada parlemen.

contoh negara yang menjalankan sistem parlementer : Inggris dan Australia

referensi

Yuda AR, Hanta (2010). Presidensialisme Setengah Hati: dari dilema ke kompromi. Jakarta: PT Gramedia 

Moh, Mahfud MD (2000). Dasar dan struktur kenegaraan Indonesia. Reneka Cipta


Sabtu, 23 Agustus 2014

MENGENAL SISTEM PRESIDENSIALISME

MENGENAL SISTEM PRESIDENSIALISME

Presidensialisme adalah salah satu dari tipologi sistem pemerintahan, selain itu ada parlementarisme. dua sistem ini lazim digunakan oleh berbagai negara di dunia yang berdemokrasi. Tulisan ini akan menjelaskan dan menggambarkan apa itu sistem pemerintahan presidensialisme, seperti apa karakteristiknya dan bagaimana sistem tersebut bekerja.

presidensialisme secara arti kata berarti, pemerintahan yang diatur oleh presiden. secara istilah bermakna  posisi presiden adalah sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan (single chief executive).

Berbeda dengan parlementarisme yang kepala pemerintahannya adalah perdana menteri yang berbeda dengan kepala negara yang bisa berupa raja ataupun presiden.

Kedua varian sistem tersebut perbedaannya ada pada relasi kuasa antara lembaga eksekutif dengan legislatif. pada sistem pemerintahan presidensial, fokus kekuasaannya ada pada lembaga eksekutif, semenatra pada sistem pemerintahan parlementer fokus kekuasannya ada pada parlemen.

karakteristik politisk presidensialisme yaitu, pertama, basis legitimasi presiden berasal dari rakyat bukan dari parlemen. karena presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket. kedua, presiden dan wakil presiden terpilih memiliki masa jabatan yang pasti (fixed term). implikasi legitimasi politik presiden yang berasal dari rakyat melalui pemilihan secara langsung menjadikan presiden bertanggung jawab kepada rakyat tidak kepada parlemen.

Presiden dipilih langsung oleh rakyat begitu juga parlemen dipiling langsung oleh rakyat. implikasinya kedua lembaga tersebut tidak dapat saling menjatuhkan. presiden tidak dapat membubarkan parlemen, begitu juga parlemen tidak dapat menjatuhkan (impeachment) presiden secara politik. impeachment adalah istilah pelengseran kursi kepresidenan terpilih dalam sistem presidensial. metodde ini tidak dapat dilakukan dengan dasar politis, namun bisa dengan dasar hukum. contohnya ketika presiden melakukan pengkhiantan kepada negara dan melakukan pelanggaran moral.

kedua institusi ini -presiden dan parlemen- memiliki posisi mandiri dan setara dalam menjalankan fungsi check and balances. sistem ini menjadikan posisi politik presiden lebih kuat dan mandiri, hasilnya adalah posisi politik presiden dalam sistem presidensial memegang kekuasaan tertinggi eksekutif dan tidak ada institusi politik lebih tinggi di atas presiden, kecuali konstitusi secara hukum dan rakyat secara politik.

kekuasaan yang tinggi tersebut menyebabkan presiden memiliki kekuasaan hak preogratif untuk membentuk pemerintahannya dan berwenang mengangkat dan memberhentikan menterinya.

buat menambah referensi, berikut adalah karakteristik presidensialisme yang ditulis oleh Jimmly Asshiddiqie.

pertama, masa jabatan dan wakil presiden telah ditentukan dengan pasti. misalnya 4, 5, 6 tahun dengan sehingga posisi presiden dan wakil presiden tidak dapat diberhentikan di tengah masa jabatannya karena alasan politis.

kedua, presiden dan wakil presiden tidak bertanggung jawab kepada lembaga politik tertentu yang biasa dikenal sebagai parlemen, melainkan langsung bertanggung jawab kepada rakyat. presiden dan wakil presiden hanya dapat diberhentikan dari jabatannya karena alasan pelanggaran hukum. seperti pelanggaran terhadap konstitusi dan pengkhianatan terhadap negara.

ketiga, presiden dan wakil presiden dipilih rakyat secara langsung ataupun melalui mekanisme perantara tertentu yang tidak bersifat permanen sebagaimana hakikat lembaga permanen.

keempat, dalam hubungannya dengan lembaga parlemen , presiden tidak tunduk kepada parlemen dan tidak tunduk kepada parlemen. sebaliknya parlemen juga tidak dapat menjatuhkan presiden.

kelima, dalam sistem presidensial tidak dikenal pembedaan antara fungsi kepala negara dengan kepala pemerintahan.

keenam, tanggung jawab pemerintahan berada di pundak presiden. oleh karena itu presiden berwenang mengangkat dan memberhentikan menteri dalam membangun kabinet pemerintahannya.

Contoh negara dengan sistem pemerintahan presidensil : Amerika serikat dan Indonesia

Referensi 

Yuda AR, Hanta (2010). Presidensialisme Setengah hati. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Asshiddiqie, Jimly (1996). Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah. Jakarta: UI-Press





Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

Sample Text

Pages

Mengenai Saya

Foto saya
jogjakarta, DIY, Indonesia
Mahasiswa Politik dan pemerintahan , Fisipol, UGM

Pengikut