Menjadi Seorang enumerator
(bagian kedua)
Aku datang di hari ke-5 siang-siang di basecamp kami di
Gading 1 Kecamatan Playen. Saat itu wilayah yang kami garap masih Playen.
Mulailah aku berkenalan dengan mas anas alumni FKH angkatan 2009 tapi belum
coas, asal dari Palembang. Keasikan Survey jadi belum nerusin coas.
Aku menyesuaikan diri dan langsung bisa bekerja sore ini, Alhamdulillah
dapat dua responden hari itu. Kemudian abis maghrib kami balik. Aku bentar aja
karena baru pengenalan wilayah.
Aku berkenalan dengan mas Eko alumni UNY angkatan 2010, tapi
belum dapet pekerjaan. Selain itu ada mba Bekti, alumni UNY juga, termasuk
enumerator senior. Terakhir mba Kholish asalnya dari Kebumen, pengantin baru
tapi sudah meninggalkan rumahnya buat jadi enumerator.
Mas anas, Eko, Niam, mba Bekti mereka adalah enumerator senior. Mas Eko, mas Anas dan Mba Bekti pernah ikut mbahnya survey namanya PSKP (penelitian standar kesehatan dan pendidikan) yang disebar di berbagai wilayah selama 3 bulan. Pelatihannya dua hari di hotel dan ada tanda tangan kontrak, jadi bagi yang mengundurkan diri harus mengganti biaya yang sudah dikeluarkan lembaga. Pendanaan proyek tersebut dari World Bank. Nah si Ucup waktu itu ikut ini sampe dia ninggalin sekolah tjokro.
Mas anas, Eko, Niam, mba Bekti mereka adalah enumerator senior. Mas Eko, mas Anas dan Mba Bekti pernah ikut mbahnya survey namanya PSKP (penelitian standar kesehatan dan pendidikan) yang disebar di berbagai wilayah selama 3 bulan. Pelatihannya dua hari di hotel dan ada tanda tangan kontrak, jadi bagi yang mengundurkan diri harus mengganti biaya yang sudah dikeluarkan lembaga. Pendanaan proyek tersebut dari World Bank. Nah si Ucup waktu itu ikut ini sampe dia ninggalin sekolah tjokro.
Aku mendengarkan cerita PSKP itu bagaimana saja sudah
bergidik. Aku diceritakan kuesioner yang harus diisi itu bentuknya sudah
seperti buku ada berbagai jenis, dan sekali wawancara bisa lebih dari sejam
tergantung data yang mau dicari. Ada lagi sampling dan lain-lain yang itu
dengernya aja ribet.
Ternyata begini ya dunia survey. Tidak seindah keliatannya,
ketika kita sudah masuk ke dalamnya terasa bahwa ini dunia yang sebenarnya
menyedihkan. Memang uangnya terlihat besar dan dapetinnya gampang. Tapi kalo
aku hitung-hitung dari biaya non materi seperti waktu dan tenaga yang dikeluarkan
itu ga sebanding loh. Memang siapa yang mau seterusnya jadi enumerator.
Ditambah kerjaan seperti ini bukan passionku.
Aku melihat ternyata orang-orang yang ikut survey ini adalah
mereka yang belum keterima kerjaan yang layak bagi mereka. Daripada nganggur
mendingan ikut survey, lumayan cukup menghasilkan. Bagi lembaga enak aja
netapin harga enum, bagi yang tidak berkenan yasudah, tinggal cari yang lain,
apalagi mahasiswa tingkat akhir dan pengangguran pasti mau-mau aja asal dapet
kerjaan.
Survey potensi konflik kemarin per diemnya itu 150 ribu,
uang bensin 20 ribu itu perminggu (kalo ini ga layak sih). Makan pagi dan malam
sudah di tanggung, plus uang untuk basecamp juga sudah ditanggung. Aku baru
dateng dua hari sudah di berikan 1.500.000 untuk tanggal 23 April sampai 4 Mei
2017.
Aku memperhatikan teman-teman setimku, yap mereka adalah
orang-orang yang butuh pekerjaan, dan rata-rata semua enumerator, mereka adalah
pengangguran. Karena sebenarnya
enumerator seperti ini ga cocok diikutin oleh mereka yang sedang aktif di
organisasi atau sedang mengerjakan skripsi karena benar-benar harus
meninggalkan pekerjaannya.
Naik turun Gunung Kidul
Kecamatan Playen, Desa Banyuseco
Dimulailah petualanganku mengenal daerah di gunung Kidul,
tempat terjauh aku jalani di hari kedua yaitu dusun Srikoyo di Desa Bleberan.
Itu kami jalan di konblok dan disebalah kiri jalannya kandang sapi. Jalan-jalan
didalem dusunnya masih ada yang cuman ditimbun batu-batuan kapur.
Kemudian darisana aku menyusuri jalan menuju desa Banyusoco.
Nah ini desa berkesan, karena baru pertama aku masuk ke desa yang sejauh ini.
bayangkan sebelum sampai ke balai desanya kita harus melewati dua kali komplek
hutan. Sampai di Balai kota yang lumayan terpencil, aku lihat ada spanduk
“bunuh diri bukan solusi” dan ada tambahan ayat-ayat al-qur’an seperti “bunuh
diri berarti menggantung dirimu di neraka” aku menduga di wilayah sini banyak
penduduk yang bunuh diri.
Jadi desa Banyuseco itu ditengah hutan, dan merupakan desa
paling jauh di Kecamatan playen berbatasan dengan Imogiri Bantul. Aku bertugas
mewawancara 4 responden hari itu disana. Seingatku Dusun kepek 2 dan dusun
Klepu. Nah dusun Kelpu ini yang paling jauh, melewati hutan lagi dan naik ke
atas bukit buat sampai ke rumah pak dukuhnya. Setelah wawancara kesana kemari,
waktu bergulir sampai sore.
Aku baru bisa ketemu dukuh Klepu setelah isya beliau adalah
responden terakhir yang aku wawancarai untuk desa Banyuseco dan Kecamatan
Playen, jadi aku bela-belain sampe jam 21.00 di rumahnya. MasyaAllah istrinya
masih cantik, yaa tante-tante 30an tahun lah dan pak dukuhnya sudah bapak usia
54 tahun, jadi bedanya jauh. Jadi dulu Waktu nikah istrinya masih 17 tahun dan
suaminya udah 28 tahun.
Sempet disuruh nginep tapi aku terus paksain pulang malam
itu, ngelewatin gelapnya hutan sendirian di motor. Wah bagaikan melewati hutan
yang tidak ada habis-habisnya, seberani apapun kita tetep ngebut juga, pengen
cepet2 selesai sesi hutannya. Alhamdulillah ada mobil jadi ada temennya di
jalan hehe.
Kecamatan Wonosari
Desa Selang, Desa Baleharjo, Desa, Wonosari
Selesai Playen kami pindah ke Kecamatan Wonosari, Basecamp
kami juga pindah ke Desa Gari Dusun Gari, rumahnya Mba Bekti. MasyaAllah
rumahnya juga masuk ke kebun dulu, tapi pendek sih. Kamar mandinya deketan sama
kandang sapid an kalo malam itu gelap. Lantainya juga bertanah-tanah. Rasanya
seperti KKN di daerah tertinggal. Tapi memang daerah Gari masih cukup
tertinggal sih menurutku. Dan di daerah Gari sini banyak kejadian bunuh diri.
Gunung kidul adalah daerah dengan tingkat bunuh diri
tertinggi secara nasional loh.
Di basecam gari kami tidur di ruang tengah, dan ternyata
kalo shubuh masyaaAllah dingin bingit, menggigit. aku juga belum tau masjid dimana, karena
gelap kalo kita liat keluar, cuman kedengeran suara adzan aja. Jadi aku sholat
di rumah, di hari terakhir baru aku tau lokasi masjid yang ternyata cukup jauh.
Dari pembagian desa, dimana kami minimal menghandle 2 Desa.
Aku kebagian desa Selang dan Baleharjo itu desanya deketan. Alhamdulillah aku
bisa menyelesaikan Desa Selang dan Baleharjo selama 4 hari. Kemudian aku
ditambah desa Wonosari, aku selesaikan dalam waktu dua hari.
Pekerjaan yang cukup melelahkan ternyata. Aku masuk-masuk
dusun, bulak balik rumah orang, Tanya sana sini. Aku merasakan dengan fisikku
sendiri bahwa mencari uang itu berat. Makanya aku sekarang menghargai sekali
setiap rupiah karena dapetinya ternyata susah.
Dan aku juga teringat pernyataan kanda Heri santoso. Bahwa
bodoh kalau kita mengejar-ngejar uang, apalagi sampai mengais rejeki (bahasanya
itu loh). Orang yang cerdas itu yang uang datang kepadanya. Dan itu adalah
tanda-tanda dari orang yang bertakwa. Dimana rejeki datang kepadanya dari arah
yang tidak diduga-duga.
Mulailah perasaan bahwa ini bukan tempatku terus membuncah.
Aku merasa aku salah ikut ini. Aku mulai berdoa sama Allah SWT minta petunjuk.
Aku telfon umi tapi baru ngasih tau kalo aku ikut proyek survey di gunung
Kidul.
Oh iya sekitar dua kali aku bulak balik jogja Gunung Kidul,
terutama pas aksi 2 Mei aku balik ke Jogja,sama sebelumnya aku juga balik.
Aku sudah merasa cukup lelah dan tidak sebanding dengan
pengeluaranku. Yang paling memberatkanku adalah skripsiku. Aku kepikiran terus
skripsiku selama di perjalanan. Bagaimana aku bisa mengincar ujian Juni kalau
aku masih disini.
akhirnya pada hari sabtu dini hari di basecamp aku sholat tahajud, mohon petunjuk. Ketika adzan shubuh aku sholat di masjid berjama’ah. Kemudian abis shubuh aku menelpon kedua orang tuaku. Terutama umi aku menceritakan keberatanku. Aku bilang uang sejuta udah aku transfer ke Norma.
akhirnya pada hari sabtu dini hari di basecamp aku sholat tahajud, mohon petunjuk. Ketika adzan shubuh aku sholat di masjid berjama’ah. Kemudian abis shubuh aku menelpon kedua orang tuaku. Terutama umi aku menceritakan keberatanku. Aku bilang uang sejuta udah aku transfer ke Norma.
Tapi aku mau mengundurkan diri dari proyek survey ini, aku
ga bisa ada disini terus, skripsiku pasti terbengkalai. Aku hampir menitikkan
air mata waktu cerita ke Umi. Pokoknya kalo nelpon umi jadi mellow deh. Suara
umi juga sih suka bikin sedih. Aku bilang aja aku ga punya waktu tapi aku juga
butuh uang baut hidup.
Umi bilang prioritasin skripsi, uang gampang nanti umi cari.
Yang penting skripsi diselesaikan dulu. Akhirnya aku ambil keputusan.
I’M OUT
Pagi harinya waktu semua tim udah pada bangun, aku berfikir
terus sambil tiduran gimana solusinya agar aku bisa keluar tapi caranya tetap
elegan. Terus waktu mas Anas duduk di teras buat ngerokok, langsung aku
samperin. aku ngobrol empat mata sama
mas anas di teras, “mas aku mau ngomong, aku mau mengundurkan diri dari survey
ini” , mas Anas Shock tapi akhirnya bisa aku jelasin soal skripsi dan waktu ga
lama akhirnya dia bisa mengerti. Soal skripsi memang ga bisa disambi sama
proyek kaya gini katanya.
Kebetulan semua lagi ngumpul di ruang tengah. Mas anas
samaku langsung masuk untuk ngomong ke temen-temen semua keadaannya. Mas anas
langsung memulai, “temen-temen ini faizal mau ngomong ke kita, dia mau
mengundurkan diri”.
Kemudian Aku ceritakan kalau aku terkendala skripsi di
survey ini, berat bagiku untuk tetap ada disini, karena aku sudah mengorbankan
waktu banyak disini. Aku udah coba
sambil mengerjakan skripsi di waktu senggang tapi ga bisa, susah banget,
fisikku terlalu lelah ketika malam. Aku sudah menyelesaikan semua kewajibanku
dari tanggal 23 sampai 4 Mei,( waktu aku mengundurkan diri itu tanggal 6 Mei). Aku sudah melunasi kewajiban atas hak 1.5
juta ku. Tapi yang menjadi fikiranku adalah ketika aku mundur beban kerja
teman-teman setimku jadi bertambah, maka aku usulkan honorku di bagi-bagi saja
ke mereka.
Mulailah terjadi diskusi disana, mas niam ga masalah dengan
keputusanku tapi dia ga mau mengerjakan sisa pekerjaanku nanti di kecamatan
selanjutnya. Mas ipul juga bilang ga masalah atas keputusanku dia bilang kita
ga ada permasahan pribadi dengan ku, tapi yang diungkit mas ipul adalah perihal
honor dan perhatian terhadap tim kami di gunung kidul yang sangat minim. mas
Eko bilang keputusanku untuk lebih mengutamakan skripsi adalah keputusan yang
tepat. Mas eko juga bilang ini menjadi pelajaran bagi PSKK karena kan ga ada
hitam di atas putih, jadi setiap orang bisa keluar masuk bebas. Dari mereka ada kesamaan keluhan soal honor
yang telat dan sedikit dibandingkan pengorbanan kita, bahkan mas ipul bilang
kerja kami sebenarnya semi kerja sosial.
Akhirnya kami berdiskusi dan sudah bisa saling memahami kondisi dan permasalahan masing-masing. Mas
anas juga banyak dituntut oleh anggota tim untuk proaktif berkomunikasi dengan
PSKK dan menggalang “pemberontakan”kepada PSKK agar honor bisa segera cair.
Akhirnya aku bisa menyelesaikan urusanku dengan mereka.
Siangnya aku bisa berkemas-kemas dan pulang ke Jogja dengan selamat.
Alhamdulillah, la haula wala quwwata illa billah..
0 komentar:
Posting Komentar