Jumat, 17 Oktober 2014

DEMOKRATIS ATAU TIDAK DEMOKRATIS

DEMOKRATIS ATAU TIDAK DEMOKRATIS

Berikut adalah Opini singkat saya yang saya tulis dulu ketika merespon hangatnya wacana pemilihan gubernur/Bupati/walikota melalui DPRD, dalam RUU Pilkada yang akan segera di paripurnakan. Seperti yang sudah kawan-kawan ketahui bahwa dalam sidang paripurna Anggota dewan 2009-2014 terakhir tersebut diputuskanlah revisi RUU Pilkada tersebut. Ditetapkannya Pilkada melalui DPRD dihasilkan melalui peristiwa kontroversial walk outnya fraksi Partai Demokrat dari Arena Persidangan, sehingga menyebabkan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) Kalah suara dalam voting melawan KMP (Koalisi Merah Putih). Kekalahan tersebut merupakan awal dari runtutan kekalahan KIH di parlemen dalam melawan KMP. Selamat membaca..



DEMOKRATIS ATAU TIDAK DEMOKRATIS
Faizal Akbar, mahasiswa Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM


            Salah satu peninggalan dari reformasi adalah pilkada langsung. Secara historis.  bangsa Indonesia telah melewati fase yang panjang pemilihan kepala daerah oleh DPRD.  Namun jum’at dini hari (26/9) keputusan sidang parlemen mengesahkan RUU Pilkada menjadi dipilih kembali oleh DPRD setelah selama 10 tahun bangsa Indonesia menikmati pemilu langsung oleh rakyat.

            Sebenarnya baik pemilihan kepala daerah lewat DPRD maupun langsung oleh rakyat sama-sama memenuhi asas demokratis. Namun sebagai anak pemerintahan, penulis mempunyai paradigma sistem yang seharusnya menjadi acuan bagi pembuat kebijakan di negeri ini. Paradigma yang berkaitan dengan sistem pemerintahan dan bagaimana aparatur pemerintahan konsisten dalam menjalankan sistem tersebut sesuai dengan mekanisme dan aturan yang berlaku.

            Pasca reformasi Indonesia berkomitmen untuk memperkuat sistem presidensialisme yang ditandai dengan kepala negara dan kepala pemerintahan hanya satu dan dipilih langsung oleh rakyat. Implikasinya, kepala daerah yang juga kepala pemerintahan mendapatkan langsung oleh rakyat, sehingga ia bertanggung jawab langsung kepada rakyat dan bukan kepada parlemen. Kepala daerah juga tidak bergantung terhadap parlemen baik dalam penyusunan kabinetnya maupun garis-garis besar haluan daerah, sekarang disebut RPJM atau RPJP.

            Sistem Presidensialisme memberikan hak konstitusional kepada kepala daerah untuk dapat menjalankan fungsi pemerintahan di daerah tersebut dengan kewenangan yang besar, yang juga diatur dalam undang-undang, ditambah lagi dengan adanya otonomi daerah. Membuat kepala daerah memiliki banyak keleluasaan untuk memajukan daerahnya. Lantas bagaimana dengan hadirnya UU baru yang mengharuskan kepala daerah dipilih oleh DPRD? Marilah kita analogikan sistem yang telah penulis sebutkan diatas sebagai mobil offroad 4 WD dengan transmisi manual. Dengan membayangkan kendaraan tersebut sudah pasti kita akan melihat mobil berbadan besar, bannya besar dan boros BBM.

            Kemudian mari kita bayangkan mobil Toyota prius, mobil yang katanya paling ecofriendly, karena menggunakan BBM dan juga listrik sehingga sangat hemat bahan bakar. Bertransmisi automatis dan sangat nyaman. Selanjutnya kedua mobil tersebut kita sandingkan. Apakah mungkin saudara menggunakan ban besar untuk offroad ke mobil Toyota prius? Mungkin saja, namun apa yang terjadi? Mobil tersebut tidak akan maksimal. Begitu juga jika kita mengganti persneling mobil 4 WD menjadi otomatis. Padahal mobil tersebut didesain manual. Maka yang terjadi adalah mobil 4 WD tersebut tidak bisa jalan.

            Jika analogi tersebut kita asosiasikan dengan perdebatan pilkada langsung oleh rakyat maupun langsung oleh DPRD. Maka ini berkaitan dengan sistem pemerintahan yang digunakan oleh bangsa ini. Sistem pemerintahan kita adalah presidensil, dengan mekanisme dan alat kelengkapan yang sudah diatur oleh undang-undang untuk menunjang sistem presidensil. Maka ketika ujungnya dari sistem tersebut yaitu kepala daerahnya diganti menjadi bercorak parlementer akan menjadi tidak sinkron. Hal tersebut terjadi karena berkaitan dengan mekanisme pertanggung jawaban kepala daerah, mekanisme penyusunan rencana pembangunan daerah, maupun berkaitan dengan sistem pemerintahan di nasional. Banyak hal yang akan memunculkan kerancuan.

Tidak selaras dengan sistem

            Format demokrasi terdiri dari berbagai macam bentuk. Dipillih atau tidak dipilih itu akan sangat berkaitan dengan sistem yang kita anut. Dipilih langsung atau tidak langsung sama-sama demokratis yang menentukan adalah sistemnya. Apa yang terjadi beberapa hari kemarin, merupakan suatu bentuk tindakan serampangan dari elit-elit parpol yang berasal dari Koalisi merah putih yang terlihat cenderung memaksakan kehendaknya. Beruntungnya lagi dengan koalisi yang solid, tindak tanduk serampangan mereka dalam mensahkan RUU Pilkada berhasil. Mungkin menurut mereka sistem bisa disusun belakangan, yang penting kepala pemerintahannya dulu, hal ini tentu saja sangat berkaitan dengan lanjutan kontestasi pilpres 2014.
Mitos-mitos

            Dari fenomena kemarin setidaknya terdapat 3 mitos yang selalu diperdengankan kepada khalayak baik melalui media cetak maupun elektronik. Pertama, mitos bahwa RUU Pilkada ini merupakan tidak berkaitan dengan pilpres. Padahal sesungguhnya kontestasi di parlemen kemarin merupakan kelanjutan dari kontestasi pilpres antara koalisi merah putih dan koalisi Indonesia Hebat.

            Kedua, Perdebatan demokratis dan tidak demokratis. Selama ini Perdebatan pemilukada via DPRD demokratis selalu dikaitkan dengan sila ke-4 Pancasila dan Pemilukada langsung berkaitan dengan UUD dan kedaulatan rakyat dalam filosofi demokrasi. Namun kedua hal tersebut hanyalah permainan retorika, karena pada dasarnya kedua-duanya sama-sama demokratis, yang menentukan adalah seperti apakah sistem yang kita gunakan dalam pemerintahan. Ketiga, Pemilukada tidak langsung subjektif dan langsung objektif. Sekali lagi itu hanyalah mitos, karena  bukan soal objektif atau subjektif yang menjadi inti dari kontestasi ini melainkan berkaitan dengan sistem pemerintahan.

            Begitulah pertunjukan yang telah dipertontonkan kepada kita semua sebagai bangsa Indonesia. Bagaimana pemerintahan bangsa ini disusun secara serampangan oleh oknum-oknum pencari kuasa. Perihal partai politik, baik itu di koalisi merah putih ataupun Indonesia hebat, kedua-duanya pernah memiliki riwayat dalam mengubah bangsa ini seara serampangan. Ya dulu PDIP  lah yang setuju pemilukada tidak langsung. Sehingga apa yang terjadi kemarin merupakan suatu bentuk ganti peran saja, ada yang memerintah ada yang tidak memerintah dan berusaha merebut pemerintahan. Sebagai anak yang sedang menunggu giliran untuk menggantikan mereka harapanku adalah, tolong jangan sisakan kami puing-puing negara ini.

Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

Sample Text

Pages

Mengenai Saya

Foto saya
jogjakarta, DIY, Indonesia
Mahasiswa Politik dan pemerintahan , Fisipol, UGM

Pengikut