Jumat, 12 Mei 2017

Menjadi Seorang enumerator

Menjadi Seorang enumerator
(bagian kedua)

Aku datang di hari ke-5 siang-siang di basecamp kami di Gading 1 Kecamatan Playen. Saat itu wilayah yang kami garap masih Playen. Mulailah aku berkenalan dengan mas anas alumni FKH angkatan 2009 tapi belum coas, asal dari Palembang. Keasikan Survey jadi belum nerusin coas.

Aku menyesuaikan diri dan langsung bisa bekerja sore ini, Alhamdulillah dapat dua responden hari itu. Kemudian abis maghrib kami balik. Aku bentar aja karena baru pengenalan wilayah.
Aku berkenalan dengan mas Eko alumni UNY angkatan 2010, tapi belum dapet pekerjaan. Selain itu ada mba Bekti, alumni UNY juga, termasuk enumerator senior. Terakhir mba Kholish asalnya dari Kebumen, pengantin baru tapi sudah meninggalkan rumahnya buat jadi enumerator.

Mas anas, Eko, Niam, mba Bekti mereka adalah enumerator senior. Mas Eko, mas Anas dan Mba Bekti pernah ikut mbahnya survey namanya PSKP (penelitian standar kesehatan dan pendidikan) yang disebar di berbagai wilayah selama 3 bulan. Pelatihannya dua hari di hotel dan ada tanda tangan kontrak, jadi bagi yang mengundurkan diri harus mengganti biaya yang sudah dikeluarkan lembaga. Pendanaan proyek tersebut dari World Bank. Nah si Ucup waktu itu ikut ini sampe dia ninggalin sekolah tjokro.

Aku mendengarkan cerita PSKP itu bagaimana saja sudah bergidik. Aku diceritakan kuesioner yang harus diisi itu bentuknya sudah seperti buku ada berbagai jenis, dan sekali wawancara bisa lebih dari sejam tergantung data yang mau dicari. Ada lagi sampling dan lain-lain yang itu dengernya aja ribet.
Ternyata begini ya dunia survey. Tidak seindah keliatannya, ketika kita sudah masuk ke dalamnya terasa bahwa ini dunia yang sebenarnya menyedihkan. Memang uangnya terlihat besar dan dapetinnya gampang. Tapi kalo aku hitung-hitung dari biaya non materi seperti waktu dan tenaga yang dikeluarkan itu ga sebanding loh. Memang siapa yang mau seterusnya jadi enumerator. Ditambah kerjaan seperti ini bukan passionku.

Aku melihat ternyata orang-orang yang ikut survey ini adalah mereka yang belum keterima kerjaan yang layak bagi mereka. Daripada nganggur mendingan ikut survey, lumayan cukup menghasilkan. Bagi lembaga enak aja netapin harga enum, bagi yang tidak berkenan yasudah, tinggal cari yang lain, apalagi mahasiswa tingkat akhir dan pengangguran pasti mau-mau aja asal dapet kerjaan.

Survey potensi konflik kemarin per diemnya itu 150 ribu, uang bensin 20 ribu itu perminggu (kalo ini ga layak sih). Makan pagi dan malam sudah di tanggung, plus uang untuk basecamp juga sudah ditanggung. Aku baru dateng dua hari sudah di berikan 1.500.000 untuk tanggal 23 April sampai 4 Mei 2017.

Aku memperhatikan teman-teman setimku, yap mereka adalah orang-orang yang butuh pekerjaan, dan rata-rata semua enumerator, mereka adalah pengangguran.  Karena sebenarnya enumerator seperti ini ga cocok diikutin oleh mereka yang sedang aktif di organisasi atau sedang mengerjakan skripsi karena benar-benar harus meninggalkan pekerjaannya.


Naik turun Gunung Kidul
Kecamatan Playen, Desa Banyuseco

Dimulailah petualanganku mengenal daerah di gunung Kidul, tempat terjauh aku jalani di hari kedua yaitu dusun Srikoyo di Desa Bleberan. Itu kami jalan di konblok dan disebalah kiri jalannya kandang sapi. Jalan-jalan didalem dusunnya masih ada yang cuman ditimbun batu-batuan kapur.
Kemudian darisana aku menyusuri jalan menuju desa Banyusoco. Nah ini desa berkesan, karena baru pertama aku masuk ke desa yang sejauh ini. bayangkan sebelum sampai ke balai desanya kita harus melewati dua kali komplek hutan. Sampai di Balai kota yang lumayan terpencil, aku lihat ada spanduk “bunuh diri bukan solusi” dan ada tambahan ayat-ayat al-qur’an seperti “bunuh diri berarti menggantung dirimu di neraka” aku menduga di wilayah sini banyak penduduk yang bunuh diri.
Jadi desa Banyuseco itu ditengah hutan, dan merupakan desa paling jauh di Kecamatan playen berbatasan dengan Imogiri Bantul. Aku bertugas mewawancara 4 responden hari itu disana. Seingatku Dusun kepek 2 dan dusun Klepu. Nah dusun Kelpu ini yang paling jauh, melewati hutan lagi dan naik ke atas bukit buat sampai ke rumah pak dukuhnya. Setelah wawancara kesana kemari, waktu bergulir sampai sore.
Aku baru bisa ketemu dukuh Klepu setelah isya beliau adalah responden terakhir yang aku wawancarai untuk desa Banyuseco dan Kecamatan Playen, jadi aku bela-belain sampe jam 21.00 di rumahnya. MasyaAllah istrinya masih cantik, yaa tante-tante 30an tahun lah dan pak dukuhnya sudah bapak usia 54 tahun, jadi bedanya jauh. Jadi dulu Waktu nikah istrinya masih 17 tahun dan suaminya udah 28 tahun.
Sempet disuruh nginep tapi aku terus paksain pulang malam itu, ngelewatin gelapnya hutan sendirian di motor. Wah bagaikan melewati hutan yang tidak ada habis-habisnya, seberani apapun kita tetep ngebut juga, pengen cepet2 selesai sesi hutannya. Alhamdulillah ada mobil jadi ada temennya di jalan hehe.


Kecamatan Wonosari
Desa Selang, Desa Baleharjo, Desa, Wonosari

Selesai Playen kami pindah ke Kecamatan Wonosari, Basecamp kami juga pindah ke Desa Gari Dusun Gari, rumahnya Mba Bekti. MasyaAllah rumahnya juga masuk ke kebun dulu, tapi pendek sih. Kamar mandinya deketan sama kandang sapid an kalo malam itu gelap. Lantainya juga bertanah-tanah. Rasanya seperti KKN di daerah tertinggal. Tapi memang daerah Gari masih cukup tertinggal sih menurutku. Dan di daerah Gari sini banyak kejadian bunuh diri.

Gunung kidul adalah daerah dengan tingkat bunuh diri tertinggi secara nasional loh.
Di basecam gari kami tidur di ruang tengah, dan ternyata kalo shubuh masyaaAllah dingin bingit, menggigit.  aku juga belum tau masjid dimana, karena gelap kalo kita liat keluar, cuman kedengeran suara adzan aja. Jadi aku sholat di rumah, di hari terakhir baru aku tau lokasi masjid yang ternyata cukup jauh.

Dari pembagian desa, dimana kami minimal menghandle 2 Desa. Aku kebagian desa Selang dan Baleharjo itu desanya deketan. Alhamdulillah aku bisa menyelesaikan Desa Selang dan Baleharjo selama 4 hari. Kemudian aku ditambah desa Wonosari, aku selesaikan dalam waktu dua hari.
Pekerjaan yang cukup melelahkan ternyata. Aku masuk-masuk dusun, bulak balik rumah orang, Tanya sana sini. Aku merasakan dengan fisikku sendiri bahwa mencari uang itu berat. Makanya aku sekarang menghargai sekali setiap rupiah karena dapetinya ternyata susah.

Dan aku juga teringat pernyataan kanda Heri santoso. Bahwa bodoh kalau kita mengejar-ngejar uang, apalagi sampai mengais rejeki (bahasanya itu loh). Orang yang cerdas itu yang uang datang kepadanya. Dan itu adalah tanda-tanda dari orang yang bertakwa. Dimana rejeki datang kepadanya dari arah yang tidak diduga-duga.

Mulailah perasaan bahwa ini bukan tempatku terus membuncah. Aku merasa aku salah ikut ini. Aku mulai berdoa sama Allah SWT minta petunjuk. Aku telfon umi tapi baru ngasih tau kalo aku ikut proyek survey di gunung Kidul.

Oh iya sekitar dua kali aku bulak balik jogja Gunung Kidul, terutama pas aksi 2 Mei aku balik ke Jogja,sama sebelumnya aku juga balik.

Aku sudah merasa cukup lelah dan tidak sebanding dengan pengeluaranku. Yang paling memberatkanku adalah skripsiku. Aku kepikiran terus skripsiku selama di perjalanan. Bagaimana aku bisa mengincar ujian Juni kalau aku masih disini.

akhirnya pada hari sabtu dini hari di basecamp aku sholat tahajud, mohon petunjuk. Ketika adzan shubuh aku sholat di masjid berjama’ah. Kemudian abis shubuh aku menelpon kedua orang tuaku. Terutama umi aku menceritakan keberatanku. Aku bilang uang sejuta udah aku transfer ke Norma.
Tapi aku mau mengundurkan diri dari proyek survey ini, aku ga bisa ada disini terus, skripsiku pasti terbengkalai. Aku hampir menitikkan air mata waktu cerita ke Umi. Pokoknya kalo nelpon umi jadi mellow deh. Suara umi juga sih suka bikin sedih. Aku bilang aja aku ga punya waktu tapi aku juga butuh uang baut hidup.

Umi bilang prioritasin skripsi, uang gampang nanti umi cari. Yang penting skripsi diselesaikan dulu. Akhirnya aku ambil keputusan.


I’M OUT

Pagi harinya waktu semua tim udah pada bangun, aku berfikir terus sambil tiduran gimana solusinya agar aku bisa keluar tapi caranya tetap elegan. Terus waktu mas Anas duduk di teras buat ngerokok, langsung aku samperin.  aku ngobrol empat mata sama mas anas di teras, “mas aku mau ngomong, aku mau mengundurkan diri dari survey ini” , mas Anas Shock tapi akhirnya bisa aku jelasin soal skripsi dan waktu ga lama akhirnya dia bisa mengerti. Soal skripsi memang ga bisa disambi sama proyek kaya gini katanya.

Kebetulan semua lagi ngumpul di ruang tengah. Mas anas samaku langsung masuk untuk ngomong ke temen-temen semua keadaannya. Mas anas langsung memulai, “temen-temen ini faizal mau ngomong ke kita, dia mau mengundurkan diri”.

Kemudian Aku ceritakan kalau aku terkendala skripsi di survey ini, berat bagiku untuk tetap ada disini, karena aku sudah mengorbankan waktu banyak disini.  Aku udah coba sambil mengerjakan skripsi di waktu senggang tapi ga bisa, susah banget, fisikku terlalu lelah ketika malam. Aku sudah menyelesaikan semua kewajibanku dari tanggal 23 sampai 4 Mei,( waktu aku mengundurkan diri itu tanggal 6 Mei).  Aku sudah melunasi kewajiban atas hak 1.5 juta ku. Tapi yang menjadi fikiranku adalah ketika aku mundur beban kerja teman-teman setimku jadi bertambah, maka aku usulkan honorku di bagi-bagi saja ke mereka.

Mulailah terjadi diskusi disana, mas niam ga masalah dengan keputusanku tapi dia ga mau mengerjakan sisa pekerjaanku nanti di kecamatan selanjutnya. Mas ipul juga bilang ga masalah atas keputusanku dia bilang kita ga ada permasahan pribadi dengan ku, tapi yang diungkit mas ipul adalah perihal honor dan perhatian terhadap tim kami di gunung kidul yang sangat minim. mas Eko bilang keputusanku untuk lebih mengutamakan skripsi adalah keputusan yang tepat. Mas eko juga bilang ini menjadi pelajaran bagi PSKK karena kan ga ada hitam di atas putih, jadi setiap orang bisa keluar masuk bebas.  Dari mereka ada kesamaan keluhan soal honor yang telat dan sedikit dibandingkan pengorbanan kita, bahkan mas ipul bilang kerja kami sebenarnya semi kerja sosial.

Akhirnya kami berdiskusi dan sudah bisa saling memahami  kondisi dan permasalahan masing-masing. Mas anas juga banyak dituntut oleh anggota tim untuk proaktif berkomunikasi dengan PSKK dan menggalang “pemberontakan”kepada PSKK agar honor bisa segera cair.


Akhirnya aku bisa menyelesaikan urusanku dengan mereka. Siangnya aku bisa berkemas-kemas dan pulang ke Jogja dengan selamat. Alhamdulillah, la haula wala quwwata illa billah..

ENUMERATOR

ENUMERATOR
(bagian pertama)

23 April-7 Mei 2017


Ini adalah pengalaman saya menjadi enumerator yang kesekian. Namun pengalaman enumerator ini paling berkesan menurutku.

Aku ikut enumeratornya PSKK, enumerator yang katanya paling sejahtera di Jogja, jadi yang ikut PSKK ini banyak juga yang dari luar UGM seperti dari UII, UNY, UIN.  Memang bener, uang yang ditawarkan bagi enumerator “keliatannya” besar.

Sudah daftar, ikutlah aku prosesnya, dimulai dari wawancara di gedung masri singarimbun, disitu aku udah lihat banyak orang ngantri buat wawancara. Waktu ngantri itu aku berkenalan dengan seseorang bernama Bowo, nama panjangnya wahyu nur Prabowo, asli Sleman. Aku sama dia langsung akrab, dia bercerita banyak tentang latar belakangnya. Jadi dia Geografi angkatan 2009, wah sudah 7 tahun ternyata dan tahun ini tahun terakhirnya. Dia harus lulus tahun ini kalo tidak maka akan di DO.
Dia jadi teman akrabku selama proses wawancara hingga keesokan harinya ketika pelatihan. Pelatihannya di gedung masri Singarimbun, aku baru tau ternyata bundel wawancaranya tebel juga.  Satu buku tipis sekitar 20an halaman.

Proyek Sultan

Jadi apa yang sedang aku lakukan ini adalah proyek kerjasama antara Kesbangpol DIY dan PSKK (pusat Studi kebijakan dan kependudukan) UGM. Sementara di belakang Kesbangpol DIY juga ada kepentingan Sultan yang dititipkan dalam beberapa pertanyaan di penelitian ini. Judul Proyeknya adalah “pemetaan perubahan sosial dan potensi konflik di DIY”.

Proyek ini bukan yang pertama, tapi sudah pernah dilakukan 2 sampai 3 kali sebelumnya dan menghasilkan output yang memuaskan pemerintah. Makanya kata pak Heruanto Hadna, kepada PSKK yang ternyata dosen MKP Fisipol anggaran untuk penelitian ini sama tim audit pemerintah bukannya dikurangi tapi di tambah.

Belakangan aku sadari keanehannya kenapa ga ngaruh ke Gajih pekerjanya yaa.
Jumlah enumerator sekaligus supervisor yang diterjunkan untuk penelitian di 4 kabupaten dan satu kota sekitar 130an orang dengan 28 hari kerja. Kami ditugaskan mewawancara semua dukuh di semua kabupaten di DIY, Kulonprogo, Bantul, Gunung Kidul, Sleman dan Kota Jogjakarta. Selain itu kami juga harus mewawancara tokoh masyarakat, tokoh perempuan, Karang taruna, BPD, LPMD, Bhabinkamtibmas.

Mulailah pembacaan penempatan lokasi oleh ketua proyeknya (mas Habib). Qadarallah, aku dapet di Gunung Kidul untuk Kecamatan Playen, Purwosari, Paliyan, Saptosari, Panggang, Purwosari. Totalnya 6 Kecamatan dan tim kita terdiri dari 7 orang.

Qadarallahnya lagi, rekan satu timku duduknya berderet di sampingku, duduk di sebelah kananku mas Niam dari UIN angkatan 2010 dan belum lulus, disebelah kiriku mas saiful dari UIN juga sudah lulus dan menikah.


IZIN

Sebenarnya aku sudah tidak layak buat meneruskan survey ini, kenapa? Karena di 4 hari awal saja aku sudah izin untuk FLC. Aku udah bilang ini ke mba Ulfah yang mewawancaraiku di awal, bahwa aku bakal izin di hari awal karena FLC ga bisa ku tinggal.

Nah kebetulannya mba Ulfah ini adalah senior HMI, pernah menjadi pengurus di Cabang dan kader HMI Komsat FIB angkatan 2007. Beliau seangkatan mas Dira dan mas yuri dkk.

Jadi karena pertimbangan satu organisasi, aku bisa di ‘usahakan’ untuk masuk jadi enumerator walaupun aku izin. Di awal mba Ulfah sempat merekomendasikan aku buat jadi supervisor, karena kerjanya lebih selow. tapi ternyata pas pengumuman aku tetap jadi enumerator dan bukan aku supervisornya, . Belakangan aku bersyukur dengan keputusan itu.


Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

Sample Text

Pages

Mengenai Saya

Foto saya
jogjakarta, DIY, Indonesia
Mahasiswa Politik dan pemerintahan , Fisipol, UGM

Pengikut